MK Putuskan Pemilu Terbuka, Liando: Antispasi Efek Buruknya!

Headline3434 Dilihat

MANADO – Mahkamah konstitusi, Kamis (15/06/2023) akhirnya memutuskan pemilu tetap menggunakan sistim proporsional terbuka. Artinya tetap sama sebagaimana pemilu 2019.

Dikatakan Dosen Kepemiluan Unsrat Ferry Daud Liando bahwa jika Pemilu itu dipandang sebagai implementasi demokrasi maka pilihan terhadap cara pemilihan calon legislatif adalah dilakukan secara langsung oleh pemilihnya.

“Dalam UU Pemilu, cara ini disebut Sistim Proporsional Daftar Terbuka. Demokrasi identik dengan kedaulatan rakyat, kebebasan sikap serta adanya kesetaraan. Pemilihan langsung sangat sejalan dengan prinsip ini,” tukas Liando.

Menurutnya, itulah sebabnya para pihak yang menentang adanya wacana pemilihan sistim proporsional daftar tertutup menggunakan argumentasi ini sebagai dasar untuk menolak.

“Sistim ini, pemilih hanya akan memilih partai politik (parpol) dalam surat suara, lalu kemudian daftar anggota DPR nya akan ditentukan oleh parpol sendiri,” ujarnya.

Meski demikian, dijelaskannya bahwa pemilihan secara langsung sebagaimana telah dipraktikkan pada pemilu 2009, 2014 hingga 2019 memiliki berbagai macam persoalan.

Pertama, kelembagaan parpol di Indonesia sebagian besar belum tertata dengan rapi. Roadmap sejak pembentukannya, rekrutmen kader, proses kaderisasi hingga seleksi anggota belum dilakukan secara profesional. Motif pendirian parpol sebagian besar hanya sebagai alat oleh patra pendirinya agar bisa mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan. Kehadiran parpol sebagai alat perjuangan rakyat nyaris belum terasa hingga kini. Walaupun semuanya mengklaim peran itu.

Proses rekrutmen terkesan berlaku apa adanya yang penting syarat jumlah anggota terpenuhi sebagai syarat pendirian parpol. Proses kaderisasi tidak berjalan sistematis dan berjenjang. Fungsi parpol sebagai sekolah politik dalam rangka pendidikan, pembinaan mental, moral dan etika serta pengetahuan tentang tata kelola pemerintahan nyaris belum ada yang melakukan. Ada parpol yang melakukan itu ketika pemilu telah usai dan DPR nya sudah terpilih (maklum banyak pendatang baru dan bukan  sebagai kader parpol sebelum terpilih, sehingga perlu doktrinisasi).

Kelembagaan parpol yang buruk berakibat pada buruknya mekanisme seleksi. Kebiasaan yang sering terjadi adalah calon yang yang ditetapkan bukan kader parpol yang terdidik. Dipilih parpol karena calon memiliki banyak uang, populer (kebanyakan artis-artis) atau faktor kekerabatan. Inilah sebabnya sebagian besar anggota DPR maupun DPRD belum dimodali kapasitas yang memadai ketika terpilih.

Kedua, karakter pemilih kita mayoritas apolitik, memilih bukan atas dasar pertimbangan politik. Pemilih di Indonesia telah tersegmentasi pada 6 jenis pemilih yakni pemilih sosiologis, pemilih pragmatis, pemilih psikologis, pemilih birokratis, pemilih apatis dan pemilih politis..

Pemilih sosiologis tidak melihat kapasitas dan visi politik sebagai dasar baginya untuk memilih tetapi disasarkan pada kesamaan agama, latar belakang etnik dan kedekatan emosional dengan calon. Jenis pemilih ini sangat gampang dipolitisasi sara/identitas.

Pemilih pragmatis memilih hanya atas dasar imbalan yang ia terima. Jenis pemilih ini banyak dimanfaatkan oleh calon yang merupakan pemilik modal.

Pemilih psikologis adalah pemilih yang hanya dipengaruhi oleh bentuk fisik calon seperti kegantengan dan kecantikan, faktor umur dan popularitas calon. Calon-calon seperti ini banyak menyasar pemilih milenial atau pemilih perempuan.

Pemilih birokratis adalah pemilih atas hasil intimidasi kelompok birokrasi pemerintah. Sebagian besar Pemilih berada di bawah garis kemiskinan sehingga bantuan-bantuan pemerintah seperti bansos, bantuan pendidikan dan kesehatan sangat dibutuhkan.

Sebagian besar apar mengintimidasi dengan mengancam mencoret dari daftar penerima jika tidak memilih calon yang dianjurkan. Pemilih yang terikat jabatan dalam struktur pemerintah dipaksa untuk memilih calon tertentu dan diancam untuk memberhentikan kerabatnya dari jabatan jika pilihan tidak sesuai dengan yang diarahkan

Pemilih apatis adalah warga negara yang terdaftar sebagai pemilih tapi enggan menggunakan hak pilihnya. Hal itu disebabkan karena ketidakpercayaannya akan adanya perubahan nasib ketika datang ke TPS. Baginya memilih atau memilih tidak akan mengubah nasib seseorang

Pemilih politis, sering disebut pemilih rasional/objektif adalah pemilih yang meyakini akan adanya perubahan jika seseorang yang dipilihnya akan terpilih. Calon yang dipilih memiliki kesamaan perjuangan politik dengan pemilih. Sehingga ada harapan baginya jika calon itu terpilih maka kepentingan politiknya akan terakomodasi dalam kebijakan publik

Sebagian besar pemilih di Indonesia, bukanlah pemilih politis atau pemilih rasional. Sehingga pemilihan terhadap calon yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung belum tentu efektif bagi penguatan demokrasi

Ketiga tantangan rendahnya kedewasaan berpolitik. Dinamika demokrasi tidaklah mungkin terhindar dari kompetisi, beda pendapat, beda pilihan atau kalah-menang. Di Indonesia, gejala ini malah sesuatu yang sangat menakutkan. Kompetisi tidak dilakukan secara sehat, tetapi saling adu licik dan manipulasi. Beda pilihan berarti musuh yang harus disingkirkan. Sikap menerima kekalahan secara dewasa masih sulit terjadi. Kalah berkompetisi selalu identik dengan teror, permusuhan dan anarki. Menyerahkan pemilihan kepada masyarakat seacara langsung, kerap berbahaya untuk kondisi ini

Keempat tantangan bagi parpol. Pengalaman pada pemilu 2019, terdapat beberapa calon yang mendapatkan suara terbanyak. Namun oleh parpol membatalkan calon itu dengan menggantikannya dengan calon lain tanpa suatu alasan yang tepat.

Kewenangan parpol dapat membatalkan keanggotaan kerap dimanfaatkan parpol untuk membatalkan calon yang sesungguhnya mendapat mandat mayoritas pemilih. Calon-calon yang berkompetisi, meski di usung oleh parpol yang sama namun kerap saling menelikung satu sama lain. Ada semacam kanibalisme dalam pencalonan

Memilih apakah menggunakan sistim proporsional tertutup atau terbuka bukanlah perkara mudah. Ada dilema. Sistim tertutup juga banyak mengandung kelemahan. Kelembagaan parpol yang buruk berpotensi siapa yang akan terpilih berpotensi dengan cara lelang. Siapa yang akan terpilih ditentukan oleh siapa yang paling besar dalam menyetor uang. Bukan apa-apa, tapi lihat saja dalam penentuan ketua parpol daerah dan penentuan calon kepala daerah sebagian besar atas dasar setoran ke pengurus pusat. Sehingga bukan tidak mungkin kursi DPR/DPRD ditentukan pula oleh uang setoran.

Ditambahkanya, bahwa kualitas pemilu sebetulnya bukan ditentukan oleh pilihan pada sistim, apakah terbuka atau tertutup. Menurutnya, kualitas sangat ditentukan oleh keseriusan parpol dalam menyeleksi kader-kader terbaiknya.

“Kuatnya money politics dipicu oleh kurangnya kesadaran sebagian elit parpol dan calon menjunjung tinggi  moral dan etika. Untuk  mendapatkan suara hanya dengan cara menyogok dan membeli suara pemilih. Jikapun sistim tertutup yang dipilih maka sesungguhnya hanya memindahkan target money politics dari pemilih ke elit politik parpol,” tambah dosen low profile ini.

(bil/*)

Komentar