Oleh: Dr. Jerry Purnama, S.Th,.M.Si.,M.Pdk
(Dosen Politeknik Negeri Manado)
Pada prinsipnya perkawinan dalam budaya mapaelek merupakan perujumpaan serta penyatuan antara perempuan (wewene) dan laki-laki (tuama) yang harus dihormati dan dihargai serta dipersiapkan secara matang dan penuh tanggung jawab agar tercipta keluarga yang bahagia mulai dari pra ma so minta, mapaelek, perkawinan, dan balas gereja.
Adanya kecenderungan pihak laki-laki yang memiliki status sosial/ekonomi yang tinggi akan kawin dengan keluarga yang memiliki status yang sama.
Sebaliknya keluarga yang kurang terpandang dan ekonomi lemah akan kawin dengan keluarga yang berstatus sama.
Dari waktu ke waktu budaya mapaelek mengalami perubahan. Secara positif budaya mapaelek mengandung makna keterbukaan; musyawarah untuk mencapai mufakat (adanya kesepakatan bersama); penghargaan terhadap perempuan; penghargaan terhadap orang tua; sopan santun; semangat kerja. Nilai-nilai tersebut sangat berharga dan begitu mahal yang patut dipertahankan dan terus dikembangkan sebagai bentuk dari budaya para leluhur tetapi juga menjadi pola hidup yang membudaya dalam karakter generasi masa kini dan akan datang.
Segi negatif budaya ini yakni harta seolah-olah menjadi tolak ukur terlaksananya perkawinan; pemborosan dalam mempersiapkan pesta kawin; bagi yang tidak mampu terjadi kumpul kebo; kawin lari; adanya penyimpangan yang dilakukan oleh wadu; jodoh yang ditentukan oleh orang tua. Sebagaimana dikatakan Ukur, (1982:310) yang menimbulkan masalah ialah sering perkawinan tidak bisa dilangsungkan karena ketidak cocokan mas kawin, dilain pihak karena demi memenuhi mas kawin keluarga harus hidup dengan hutang.
Oleh karena itu budaya ini perlu dikembangkan dengan formula-formula baru yang sesuai dengan perkembangan zaman (tanpa harus menekankan pemberian harta yang melampaui kemampuan pihak laki-laki) sambil tetap memelihara prosesi adat perkawinan mulai dari pra maso minta, mapaelek, puncak perkawinan, dan balas gereja.
Dari hasil wawancara tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa budaya mapaelek telah berubah pada bagian atau tahap-tahap tertentu dari prosesi adat perkawinan, karena ada yang melaksanakan mapaelek tanpa proses pra maso minta dan kemudian kawin; ada yang melaksanakan pra maso minta tanpa melaksanakan mapaelek dan kawin; ada yang langsung kawin tanpa proses adat yang berlaku.
Umumnya yang melaksanakan secara keseluruhan prosesi adat yang berlaku adalah mereka yang berusia 61-80 tahun, disebabkan karena pengaruh adat waktu itu begitu kuat. Sedangkan yang berusia 51-60 tahun, 41-50 tahun, 31-40 tahun, dan 20-30 tahun melaksanakan tapi tidak secara menyeluruh berdasarkan prosesi adat yang berlaku, hal ini disebabkan karena pengaruh pendidikan yang sudah semakin berkembang, kontak atau hubungan dengan masyarakat lainnya, sikap dan nilai-nilai serta kebutuhan hidup. Dari 10 informan yang tidak melaksanakan budaya mapaelek disebabkan karena mendasarkan perkawinan pada cinta kasih, kumpul kebo, kawin di luar desa dan perkawinan antar suku yang berlainan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moore (dalam Soekanto, 1997:335) bahwa perubahan-perubahan terikat oleh waktu dan tempat (Goni, 1999).
Hal-hal yang menonjol dari budaya mapaelek di desa Dimembe dibandingkan dengan desa-desa lain di Minahasa terletak pada permintaan harta : kebun kelapa; kebun sawah; kolam ikan; hewan peliharaan (sapi, babi, ayam) untuk keperluan pesta kawin; seperangkat perhiasan emas yang terdiri dari cucu konde, peniti, kalung, anting-anting, gelang tangan; cincin kawin; uang untuk orang tua pihak perempuan sebagai ucapan terima kasih.
I. SEBAB
a. Pendidikan
Melalui pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka wawasan berpikir serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara alamiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berpikir secara objektif, hal mana akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak (Soekanto, 1997:363).
Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat yang tamat Sekolah Menengah Umum dan Perguruan Tinggi, mempengaruhi pola pikir dan pengambilan keputusan dalam pelaksanaan budaya mapaelek. Ada kecenderungan bahwa mereka yang memiliki pendidikan menengah dan tinggi tidak terlalu terfokus pada harta tetapi makna yang ada dibalik harta. Artinya dengan daya pikir yang kritis mereka menilai budaya itu secara objektif sehingga mulai ada yang berpandangan, bahwa harta tidak dilihat dari segi volume (banyaknya harta) tetapi ada sesuatu yang lebih berharga dari harta yaitu cinta kasih, jelas bahwa masyarakat desa Dimembe memiliki perkembangan dari waktu ke waktu dari segi intelektual. Ini juga berdampa pada pola pikir dari generasi ke generasi berbeda dan ada kecenderungan semakin rasional. Ini sejalan dengan pendapat Weber yang melihat adanya perkembangan linear dalam masyarakat, yaitu semakin meningkatnya rasionalitas (Sunarto, 1993:213). Hal terrsebut di atas disebabkan beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistim pendidikan formal (Halevy dan Etziono, 1973:177).
Tersedianya fasilitas pendidikan dengan adanya SD negeri dan desa tetangga Laikit memiliki TK dan SD, SMP Katolik Laikit, SMU Negeri Laikit dan di desa Matungkas memiliki SD Negeri dan SMP GMIM. Cukup banyak anak-anak desa Dimembe yang melanjutkan pendidikan tinggi di universitas negeri maupun swasta yang ada di Manadi dan sekitarnya.
Keluarga yang terpandang dan ekonomi lemah tetapi anak-anak merasa memiliki pendidikan yang tinggi (sarjana, guru, polisi, pegawai negeri sipil) boleh kawin dengan pihak perempuan yang berstatus sosial/ekonomi tinggi, karena semakin tinggi tingkat pendidikan pihak laki-laki semakin bernilai bagi pihak perempuan dan biasanya tidak lagi diminta harta kawin, yang penting jalannya pesta perkawinan berlangsung dengan baik atas kesepakatan bersama. Ada juga orang tua pihak perempuan yang turut menanggung pesta secara bersama dengan jalan memberikan sejumlah uang kepada pihak laki-laki melalui wadu. Uang tersebut diberikan pada saat mapaelek agar keluarga ataupun masyarakat mengetahui bahwa laki-laki telah memenuhi permintaan pihak perempuan sehingga tidak mempermalukan di depan umum, karena adanya pemahaman uang cepat habis tapi ilmu tidak akan habis. Apabila laki-laki yang melamat tidak tamat SD, SMP atau SMU dan belum memiliki pekerjaan yang tetap maka diminta harta yang banyak karena orang tua perempuan khawatir jangan-jangan anak mereka tidak bahagia dikemudian hari. Uang yang diberikan biasanya digunakan untuk menopang rumah tangga yang baru apabila mereka hendak membuka usaha atau keperluan lainnya dalam keluarga.
Semakin maju tingkat pendidikan maka wawasan berpikir kedepan lebih luas sehingga harta kawin itu lebih bermanfaat apabila dijadikan modal untuk kehidupan keluarga, daripada habis percuma dalam pesta pora. Jadi boleh saja budaya itu dilanjutkan dengan memperhatikan hidup hemat.
b. Kontak
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia (Soekanto, 1997:324).
Masyarakat desa Dimembe tergolong terbuka pada perkembangan perkawinan modern seperti paket-paket perkawinan yang dikelola secara profesional dengan menyewakan mobil pengantin, baju pengantin, foto perkawinan, tempat resepsi perkawinan, kue pengantin, serta mendandani pengantin.
Jadi kalau dulu pakaian pengantin dijahit sendiri sekarang disewakan; dulu ada sabuah untuk pesta sekarang ke restoran; dulu jalan kakai diiringi musik, sekarang naik mobil pengantin menuju gedung gereja.
Faktor yang mendorong proses perubahan dalam budaya mapaelek yakni masyarakat desa Dimembe tergolong desa yang memiliki letak yang strategis yakni berdekatan dengan kota Manado (+ 22 km), kota Bitung (+ 30 km), lapangan udara Sam Ratulangi (+ 15 km) dengan jarak tempuh yang tidak terlalu lama membuat kontak dengan masyarakat kota lebih luas lagi dengan adanya beberapa anggota masyarakat yang sering bepergian ke luar Sulawesi Utara bahkan ada yang ke luar negeri dan bekerja di sana, membuat desa ini begitu terbuka dengan pengaruh-pengaruh budaya kota.
Masyarakat desa Dimembe memiliki sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju, hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diberikan kepada siapa saja yang dianggap berjasa membangun sarana dan prasarana yang ada di desa dipuji, dikenang, dan diceritakan dari mulut ke mulut.
Masyarakat desa Dimembe memiliki toleransi yang tinggi, baik menyangkut keyakinan/agama ataupun budaya. Sistim terbuka dari masyarakat juga turut mempengaruhi perubahan pola pikir dan perilaku dengan keadaan penduduk yang heterogen serta perilaku ketidakpuasan terhadapa apa yang mereka peroleh, membuat mereka lebih mengarahkan pola pikir yang kritis terhadap nilai-nilai budaya masa lampau. Prosedur adat dilangkahi (tanpa menggunakan wadu) mulai dari masa pacaran, pertunangan dan perkawinan, komunikasi antara pihak laki-laki dan perempuan yang bercinta dibina secara baik tanpa campur tangan pihak ketiga. Pergaulan dengan masyarakat kota membuat masyarakat desa memiliki pola pikir yang berkembang dan turut mempengaruhi budaya ini yang semakin bergeser/berubah misalnya peran orang tua dalam menentukan jodoh tidak lagi memaksakan pilihan, tapi anak-anak diberi kebebasan untuk mengambil keputusan dan orang tua tinggal mengarahkan.
Karena pengaruh kota yang begitu mudah masuk ke desa, sehingga berubah sikap dan pola hidup masyarakat dalam pergaulan sehari-hari, lebih suka menggunakan bahasa Manado ketimbang bahasa Tounsea.
c. Sikap dan Nilai-nilai
Sikap dan nilai-nilai dalam budaya mapaelek sebenarnya sangat mulia seperti
penghargaan serta penghormatan kepada orang tua dan kaum perempuan serta hakekat perkawinan. Perkawinan dilihat sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan jauh sebelumnya, bukan hanya kedewasaan fisik tapi juga mental dan spiritual serta memupuk budaya kerja dan pola hidup sendiri dalam memasuki rumah tangga baru.
Mulai dari langkah awal (pra maso minta), kekelang atau akeren pergi berbisik secara halus (kewit nereong) menunjuk pada nilai sopan santun kepada pihak perempuan dan orang tuanya, kemudian dilanjutkan oleh wadu dalam mapaelek sampai puncak perkawinan. Nilai-nilai demikian mulai bergeser karena pengaruh luar desa.
Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan dalam Pasal 35 disebut harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawa penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Menurut Peck, (1995:64) telah terjadi perubahan yang penting dalam masalah perkawinan selama dua puluh tahun terakhir :
1. Perkawinan tidak lagi dianggap sebagai gaya hidup yang cocok bagi semua orang.
2. Sering kali ditunda.
3. Semakin banyak pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah.
4. Pola perkawinan telah berubah, terutama dalam hal pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin.
5. Lebih banyak wanita berkeluarga dan mempunyai anak bekerja di luar rumah dan ikut mencari nafkah.
6. Menikah hanya untuk mendapatkan anak.
7. Kesetiaan dalam perkawinan kini tidak lagi dipahami sebagai kehidupan seksual
antara suami istri.
Menurut Siwu (2000) keluarga modern sesungguhnya adalah keluarga yang
runtuh artinya baik secara institusional maupun secara moral telah mengalami keruntuhan komunikasi.
Ciri-ciri dan wawasan keruntuhan keluarga adalah :
1. Keluarga menghadapi perubahan zaman.
2. Perubahan, pergeseran nilai, perubahan gaya hidup.
3. Melemahnya nilai-nilai moral religius tradisional (krisis instruksi atau adat).
4. Melemahnya ikatan-ikatan primordial atau kesetia kawanan dan ikatan komunitas.
5. Pemisahan dan perbedaan antara private dan public, seks menjadi ekslusif dan
komoditif.
6. Fakta emansipasi wanita.
7. Pengalihan tanggung jawab pendidikan dari orang tua kepada instansi atau sektor
formal atau non formal seperti sekolah, titipan, pembantu kegiatan-kegiatan ekstra
dan seterusnya.
8. Broken home atau keruntuhan keluarga.
9. Keluarga menjadi tanggungan dan beban, keluarga menghadapi masalah ekonomi dan sosial. (Siwu, 2000).
Perubahan budaya mapaelek juga dipengaruhi oleh pandangan yang dikemukakan Peck dan Siwu tersebut diatas hingga mengalami pergeseran-pergesaran misalnya bagi pasangan yang telah kawin di luar desa, kumpul kebo, perkawinan antar suku yang berbeda, mereka tidak lagi melaksanakan mapaelek, dan biasanya hanya pemberkatan di gedung gereja dan biaya pesta ditanggung bersama.
Dari segi sejarah, di zaman Jepang dilarang berpesta, dan pada malam hari tidak boleh memasang lampu sehingga tradisi ini mulai terpendam seolah-olah terlupakan. Sesudah Jepang nilai-nilai budaya ini dikembangkan lagi oleh para leluhur.
Walaupun dari waktu ke waktu budaya ini semakin berubah, seperti saat sekarang ini orang tidak mau repot lagi membawa musling lengkap (tempat tidur, sprei, bantal) ada yang mengantinya dengan sejumlah uang, ada juga yang tidak memberi dengan alasan cinta kasih sebagai dasar utama dan yang lain akan dipenuhi setelah mereka kawin, akan bekerja dan hidup secara mandiri.
Segi negatif dari orang yang melaksanakan budaya mapaelek, untuk memenuhi kesepakatan bersama tentang harta kawin, maka orang tua pihak laki-laki ada yang berhutang untuk persediaan pesta kawin. Setelah habis pesta keluarga pihak laki-laki dibebani dengan hutang yang begitu banyak.
d. Kebutuhan
Kadar dan arah perubahan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh kebutuhan
yang dianggap perlu oleh para anggota masyarakat, kebutuhan bersifat subjektif para pengamat teori fungsional berpandangan bahwa banyak kebutuhan merupakan kenyataan objektif yang timbul karena adanya keperluan untuk mempertahankan kelanjutan hidup dan karena adanya perkembangan teknologi yang berlangsung terus (Horton, 1992:217-223).
Kebutuhan tempo dulu berbeda dengan sekarang ini, visi berpikir yang turut berubah antara lain sekarang ini pendidikan bagi anak-anak merupakan keubutuhan yang harus dipenuhi sehingga sudah banyak yang mengembangkan pola hidup sederhana yang menjauhi pemborosan. Karena pendidikan merupakan bekal masa depan, dengan ilmu yang diperoleh merupakan harta yang tak ternilai harganya, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Sikap individu yang hidup dalam banyak masyarakat itu terutama adalah mengingat keperluan diri sendiri, dengan demikian ia sedapat mungkin akan mencoba menghindari adat atau menghindari aturan apabila adat istiadat itu tidak cocok dengan keperluan pribadinya (Koentjaraningrat, 1986:236).
Tingkat kebutuhan serta sikap masyarakat yang semakin maju dibandingkan dengan tempo dulu. Kalau dulu baju pengantin dijahit sendiri tapi sekarang lebih mudah dengan menyewa, malahan bukan saja baju pengantin tetapi mobil pengantin, restauran, dll. Sehingga sekarang ini orang lebih suka peruangkan kemudian uang itulah yang nantinya membeli perlengkapan keluarga. Akibat dari perubahan budaya ini, maka sistim adat mapaelek bergeser dari yang tradisional ke modern.
Karena resesi/krisis ekonomi maka pola hidup sederhana mewarnai aspk hidup yang ditempuh dengan cara yang mudah, murah dan meriah menjadi kebutuhan yang mau tidak mau harus dijalani.
II. AKIBAT
a. Sistim
Budaya ini sudah tidak lagi dilakukan sebagaimana prosesi dari awal sampai akhir (pra maso minta, mapaelek, perkawinan, balas gereja).
Pengantara kekelan/akeren tidak lagi berperan karena pasangan muda mudi secara langsung dapat berkomunikasi tanpa pengantara. Diseluruh dunia tidak ada suatu masyarakat yang semua warganya 100% taat kepada adat untuk selamanya. Kita mengerti bahwa justru keadaan-keadaan yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya, karena penyimpangan demikian merupakan pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya (Koentjaraningrat, 1986:236).
Dahulu mapaelek dilakukan secara bersamaan dengan tukar cincin dengan membawa mawetenga tapi sekarang tukar cincin dilakukan tanpa membawa mawetenga. Pergeseran bentuk yakni mulai dari langkah awal orang tidak lagi mengikuti sebagaimana prosedur adat; tidak lagi memakai pengantara tetapi secara langsung pasangan yang saling mencintai menyampaikan kepada orang tua mereka kemudian atas dasar cinta kasih antara anak mereka dilanjutan dengan maso minta sekaligus membicarakan acara puncak perkawinan.
Sejak tahun 1980-an banyak penduduk desa yang melaksanakan adat mapaelek sekedar formalitas semata-mata demi menghormati adat, tapi pada kenyataannya apa yang dibaca dalam daftar harta yang disepakati itu sebenarnya untuk memperdengarkan kepada para undangan dan masyarakat bahwa pihak laki-laki telah memberikan harta kawin tetapi apa yang dibaca itu tidak semuanya ada, misalnya dibaca kelapa 10 batang padahal kenyataannya tidak diberikan. Hal ini justru teradi atas kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak.
Kalau mengikuti tradisi harus batuang, maka apabila laki-laki itu bekerja sebagai pegawai maka bisa saja ia dipecat karena tidak masuk kerja selama sekian bulan.
Dahulu tukar cincin dilakukan terpisah dengan pernikahan, tapi sekarang tukar cincin dilakukan sekaligus dengan pemberkatan nikah di gedung gereja untuk menghemat biaya pesta.
b. Perang Orang Tua
Bergesernya peran orang tua sebagai pengambil keputusan dalam menentukan pasangan hidup anaknya, saat sekarang anak-anak diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri, orang tua hanya mengarahkan dan membimbing agar keputusan ditempuh dengan bijaksana (dahulu anak merestui pilihan orang tua, sekarang orang tua merestui pilihan anak).
Menurut Shorter, adanya gejala “tarik dorong” (push-pull) karena orang tua agaknya tidak mempunyai waktu bagi anak-anak karena suami istri bekerja, “keluarga karir rangkap” itu telah menjadi suatu bentuk kehidupan keluarga yang penting, maka adalah sulit bagi orang tua manapun untuk memperoleh waktu melakukan sosialisasi dan pengasuhan yang intensif. Dengan demikian, keeratan hubungan antara para orang tua dan anak-ana mereka yang khas pada masa lalu sekarang ini semakin menghilang dan hal itu membuat tarikan subkultur remaja semakin menggoda (Sanderson, 2000:479).
c. Peran Wadu
Peran wadu dalam tradisi mapaelek menentukan hubungan berlanjut atau tidak. Karena wadu pria adalah penyambung lidah pihak laki-laki dan wadu wanita adalah penyambung lidah pihak perempuan. Yang menjadi soal apabila hubungan antara wadu ini tidak harmonis karena masalah pribadi, bisa saja terbawa-bawa pada dendam yang berkepanjangan dan mengakibatkan pembicaraan mereka dipengaruhi faktor-faktor subjektif (saat wadu laki-laki menyatakan berapa harta yang diminta, maka wadu perempuan bisa saja menaikkan harga sesukanya, padahal kemampuan pihak laki-laki tidak sanggup untuk memenuhinya) apabila wadu pihak perempuan punya calon lain maka bisa saja wadu tersebut akan memberi masukan kepada orang tua pihak perempuan untuk menerima masukan kepada orang tua pihak perempuan untuk menerima lamaran sebagaimana yang disampaikannya, jika orang tua pihak perempuan mendengar dan terpengaruh dengan penyampaian tersebut maka orang tua pihak perempuan akan lebih mengikuti saran wadu dan mengorbankan pilihan mereka dan pilihan anak mereka.
Dengan pengalaman tersebut maka pihak perempuan ataupun pihak laki-laki harus selektif dalam memilih wadu dan kebanyakan mereka lebih memilih keluarga terdekat yang dapat dipercaya, ketimbang memilih orang lain (yang tidak memiliki hubungan keluarga terdekat).
Dengan demikian posisi wadu yang dulunya bisa dipilih dari tua-tua kampung bergeser pada wadu yang memiliki hubungan keluarga dari pihak laki-laki atau pihak perempuan. Kalau dahulu wadu menggunakan bahasa daerah Tounsea sekarang menggunakan bahasa Indonesia dan sering kali dicampur dengan melayu Manado.
Dalam perkawinan dewasa ini jika dibandingkan tempo dulu peranan kakelang, akeren dan wadu sebagai pengantara sangat jarang ditemukan, toh kalau ada itu nanti terjadi pada saat maso minta ada keluarga yang terdekat bertemu pihak perempuan yang terlebih dahulu orang tua sebelah-menyebelah telah mengetahui dan merestui pilihan anak-anak mereka yang kemudian akan masuk pada jenjang pertunangan dan perkawinan.
Wadu yang tidak jujur dalam menyampaikan informasi, apabila wadu memiliki calon yang lain maka bisa saja arah pembicaraan dibelokkan sesuai dengan keinginan wadu dan bukan orang tua pihak laki-laki. Kalau sudah demikian maka wadu akan mempengaruhi orang tua pihak laki-laki untuk menerimanya. Sekarang orang lebih suka berhadapan muka dengan muka apakah itu dengan orang tua antara pasangan yang saling mencintai atau pertemuan antara kedua anak mereka.
d. Harta
Saat mapaelek berlangsung harta menjadi fokus utama, setelah terjadi pergeseran budaya ini maka nilai serta makna cinta kasih melebihi harta apapun. Oleh karena itu kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga sangatlah ditentukan oleh kasih sayang antara suami dan istri dan harta merupakan alat bantu yang menopang kebutuhan hidup keluarga.
Jumlah harta yang diminta kalau dahulu harus sesuai dengan rincian atau daftar harta yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki, tahun demi tahun semakin berubah pada kesepakatan-kesepakatan besama demi suksesnya acara perkawinan tergantung pada kesediaan pihak laki-laki untuk memenuhi tuntutan pihak perempuan hal ini nampaknya terlalu sepihak tapi sekarang kedua belah pihak sama-sama saling mengerti demi terlaksananya perkawinan, sekaligus mengharumkan nama baik keluarga kedua belah pihak. Dan yang pokok adalah doa restu agar anak-anak mereka dapat hidup bahagia dalam berumah tangga.
Menurut Ukur dan Cooley (1982:309-310) mengatakan umumnya mas kawin itu mempunyai tiga fungsi : fungsi hukum, sehingga perkawinan itu dianggap sah di depan masyarakat; fungsi sosial, dimana dua kerabat diikat menjadi satu; fungsi kedudukan atau martabat kedua belah pihak.
Seolah-olah segala sesuatu hanya diatur oleh uang/harta padahal cinta kasih tidak dapat diukur dengan materi apapun. Oleh karena itu sebaiknya apabila budaya ini hendak dilestarikan jangan terlalu menitik beratkan soal harta sebaiknya diangkat makna cinta kasih yang melebihi segal-galanya.
e. Bahasa Tonsea
Penggunaan bahasa Tounsea dari waktu ke waktu semakin tidak dikuasai oleh kalangan orang muda, karena mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan melayu Manado sebagai bahasa penghubung dalam pergaulan sehari- hari. Banyak juga orang tua-tua yang sulit menyampaikan maksud mereka dalam bahasa Tounsea apabila ditunjuk sebagai wadu, oleh karena itu yang menjadi wadu adalah orang-orang tertentu saja (tidak semua orang tua-tua bisa berkomunikasi dengan fasih dalam bahasa Tounsea).
Dengan semakin bergesernya budaya mapaelek maka penggunaan bahasa Tounsea semakin terkikis.
III. PENGELOLAAN BUDAYA MAPAELEK
Budaya ini dilakukan secara turun-temurun dan dianggap sebagai adat dalam
melaksanakan suatu perkawinan. Sejak dahulu tidak ada suatu lembaga tertentu di desa yang mengatur budaya ini, sehingga pelaksanaannya dilakukan karena kebiasaan. Walaupun saat sekarang ini sudah terbentuk Badan Perwakilan Desa (BPD) yang di dalamnya ada tokoh adat yang baru saja terbentuk tahun 2000 dan diharapkan melalui wadah ini budaya mapaelek dapat digali dan dikembangkan antara lain melalui :
a. Perencanaan
– Perlu adanya pendekatan sosial, motivasi dan sosialisasi tentang budaya
mapaelek, untuk menggugah rasa kecintaan pada budaya ini.
– Meningkatkan kesadaran masyarakat desa untuk mengembangkan budaya
mapaelek.
– Memperluas peran serta masyarakat dan seluruh komponen yang ada di desa
untuk melaksanakan budaya mapaelek.
b. Pengorganisasian
– Perlu di tata mekanisme koordinasi dan prosedur pelaksanaan budaya mapaelek apakah oleh BPD/tokoh adat ataukah kepala desa yang akan mengatur/menata budaya ini.
c. Kegiatan
– Sebulan sekali mengadakan pertemua antara kepala desa, BPD/tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat (tua-tua kampung), pimpinan organisasi sosial (rukun- rukun), pimpinan organisasi politik (pimpinan partai), simpatisan, budayawan, kaum intelektual yang ada di desa untuk membicarakan strategi pengembangan budaya mapaelek termasuk perlu merumuskan program jangka pendek, menengah dan panjang.
– Perlu dilakukan kegiatan temu budaya daerah.
– Pagelaran dan pameran budaya mapaelek dalam acara HUT Proklamasi RI di desa.
– Memberikan ceramah tentang pembinaan budaya desa bagi remaja dan pemuda. d.
EVALUASI
– Tiga bulan sekali diadakan pertemuan untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan budaya mapaelek oleh kepala desa, BPD/tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat (tua-tua kampung), pimpinan organisasi sosial (rukun- rukun), pimpinan organisasi politik (pimpinan partai), simpatisan, budayawan, kaum intelektual.
(***)
Komentar