Oleh: Marthen Pua ,SH, MAP
(Dosen Politeknik Negeri Manado)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility”. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Acapkali kewajiban hukum seorang individu untuk mengganti kerugian moral atau material yang ditimbulkan olehnya atau orang lain ditafsirkan sebagai sanksi, dan karena itu kewajiban itu juga di sebut “pertanggungjawaban”.1
Pertanggung jawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandat (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandat (pemberi wewenang).
Wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab.
Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Dari paparan di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.
Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/kewenangan, perlu juga ada kejelasan tentang siapa “pejabat” tersebut dan yang kedua, bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum publik, yang berkedudukan sebagai subyek hukum adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat.
Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan. Selanjutnya jawaban atau pertanyaan kedua, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan, hakim tidak dapat melakukan penilaian.
Berbeda halnya dalam pembuatan tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana. Dan apabila terbukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan wewenang diskresinya.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi ini dengan mengangkat judul: Tanggung Jawab Pidana Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan Berdasarkan KUHP”, dimaksud untuk mengemukakan hal rumusan dari tindak pidana terkait dengan penyalahgunaan jabatan serta kebijakan formulasinya yang ada saat ini.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas beberapa permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimana perumusan tindak pidana penyalahgunaan jabatan dalam KUHP?
2. Bagaimana tanggung jawab pidana pelaku tindak pidana penyalahgunaan jabatan berdasarkan KUHP?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan perumusan tindak pidana penyalahgunaan jabatan dalam KUHP.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab dari pelaku penyalahgunaan jabatan sesuai dengan KUHP.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang merupakan manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan pemahaman tentang ketentuan perumusan tindak pidana penyalahgunaan jabatan.
2. Untuk memberikan pemahaman tentang tanggung jawab dari pelaku penyalahgunaan jabatan sesuai dengan KUHP.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanggung Jawab Pidana
Para pakar hukum pidana menggunakan istilah pertanggung jawaban pidana untuk istilah tanggung jawab pidana. Istilah pertanggungjawaban pidana terdiri dari dua kata yakni pertanggungjawaban dan pidana, sedangkan pertanggungjawaban adalah berasal dari kata dasar tanggung jawab, yang menurut
W.J.S. Poerwadarminta diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.4
Tanggung jawab merupakan keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau ada sesuatu hal yang boleh dipersalahkan. Kesalahan merupakan masalah pertanggung jawaban pidana. Timbul pertanyaan kapan orang mempunyai kesalahan?
Seseorang mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela, dengan demikian seseorang mendapatkan pidana, tergantung pada dua hal:
1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Jadi, ada unsur obyektif.
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesenjangan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melanggar hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi ada unsur subjektif.
Jika ada alasan menghapus atau meniadakan sifat melawan hukum perbuatan, maka perbuatan yang bersangkutan tidak dianggap perbuatan melawan hukum, walaupun perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana dengan undang-undang atau dengan kata lain perbuatan itu dapat dibenarkan. Alasan menghapus sifat melawan hukum perbuatan disebut alasan tidak benar.
Suatu perbuatan melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan pidana. Di samping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya, dan unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab. Jika ada alasan penghapus kesalahan, maka pembuat tidak dipidana, karena hanya orang yang bersalah yang dipidana. Berdasarkan azas geen straf zander schuld tidak ada pidana tanpa kesalahan.
P.A.F, Lamintang, menyatakan bahwa seseorang yang tidak melakukan suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman itu pada dasarnya dapat dihukum, kecuali jika undang-undang sendiri telah menunjukkan tentang adanya suatu unsur dasar yang meniadakan hukuman.
Seseorang yang melakukan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman, dapat dihukum kalau orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab.
Moeljatno mengatakan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
(1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antar perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
(2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan
Jadi seseorang mampu bertanggungjawab kalau orang itu mampu untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan melawan hukum. Dan mempunyai kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang hal yang baik dan yang buruk. Dan kalau seseorang tidak mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan melawan hukum, dan tidak mempunyai kemampuan untuk menginsafi tentang hal yang baik dan yang buruk berarti orang tersebut dalam keadaan tidak mampu bertanggungjawab, sehingga ia tidak dapat dipidana.
E. Mezger sebagaimana dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo, mengemukakan beberapa metode untuk menentukan suatu keadaan tidak mampu bertanggungjawab, sehingga tidak dapat dipidana, sebagai berikut:
1. Metode Biologis
Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang. Seorang psikiater telah menyatakan seseorang sakit gila dengan sendirinya orang tersebut tidak di pidana.
2. Metode psikologis
Metode psikologis yang dengan cara menunjukan hubungan keadaan jiwa abnormal dengan perbuatannya. Metode ini yang dipertimbangkan adalah akibat penyakit jiwa terhadap perbuatannya, sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak di pidana.
3. Metode gabungan
Metode gabungan dari kedua cara tersebut, yakni metode biologi dan metode psikologis dengan menunjukan disamping menyatakan keadaan jiwa dan oleh sebab itu keadaan jiwa itu, kemudian dinilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab.
Selanjutnya Satochid Kartanegara mengatakan sebagai berikut:
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan jika keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya juga akan mengerti akibatnya keadaan jiwa itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan, orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dibenarkan dari masyarakat maupun tata susila.
Van Ilamei, menyatakan pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
1. Memahami arti dan akibat dan perbuatannya sendiri.
2. Menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.
3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. Jadi dapat disimpulkan, bahwa kemampuan bertanggung jawab mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.10
Sedangkan Simons, menyatakan kemampuan bertanggungjawab dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk menginsyafi atau mengetahui, bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
Dari pendapat Para Pakar Hukum Pidana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pertanggungjawaban Pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya.
c. Tidak ada alasan menghapus pertanggung jawaban pidana pembuat.
2. Kesalahan dalam arti sempit mempunyai dua bentuk, yaitu:
a. Kesenjangan (dolus)
b. Kealpaan (culpas).
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, khususnya menurut KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban pidana oleh orang perorangan (individual) yang merupakan subjek dari Hukum Pidana.
Mengapa dalam hukum pidana di Indonesia khususnya menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya orang yang dapat menjadi subjek tindak pidana, karena:
1. Terdapat rumusan yang dimulai dengan „Hij die, …‟ di dalam peraturan undang-undang pada umumnya yang berarti tidak lain adalah manusia.
2. Dari jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain oleh manusia.
3. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan bagi seorang manusia pribadi.
Namun dalam perkembangan berikutnya, ternyata subjek hukum pidana tidak hanya manusia, tetapi juga badan hukum atau korporasi, dan hal seperti ini tampak dalam Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dengan demikian maka terhadap korporasi dapat menuntut dan dapat pula dituntut, karena korporasi adalah pemegang hak-hak dan kewajiban- kewajiban menurut hukum.
Dalam Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 di mana para pengurus dapat dimintakan pertanggungjawabannya menurut hukum, merupakan langkah baru yang menyimpang dari KUHP yang mengakui subjek hukum hanyalah orang. Hal ini merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Sehubungan dengan Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 ini, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia mengulas.
Menyimpang dari KUHP, maka Undang-undang Darurat tersebut di samping pribadi kodrati, maka badan-badan tertentu atau pribadi hukum (serta koperasi) dianggap dapat melakukan tindak pidana ekonomi serta dapat dijatuhi hukuman pula. Pribadi-pribadi hukum seperti perseroan terbatas, perserikatan orang, yayasan dan lain sebagainya, dianggap dapat melakukan tindak pidana ekonomi. Artinya, pribadi-pribadi hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana ekonomi yang dilakukannya.
Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu aspek yang penting, oleh karena menyangkut siapa yang menjadi subjek dalam tindak pidana tertentu sehingga untuk itu harus diketahui, termasuk pula perkembangan pertanggungjawaban pidana yang kini tidak hanya orang saja, melainkan juga korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana, terkait lagi aspek-aspek lainnya seperti sampai sejauh mana luas dan cakupan dari tanggungjawab korporasi, apakah pengurusnya yang bertanggungjawab dan maju mewakili korporasi itu atau siapakah. Kesemuanya ini merupakan ruang lingkup dari pertanggungjawaban. Lebih dari itu bertalian dengan adanya pembedaan status di antara orang dan korporasi manakala dihadapkan pada suatu tuntutan atau pertanggungjawaban pidananya, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spiritual. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari institusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bab I Stelsel Pidana Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers, 2014.
Arief Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Penelitian Delik-delik Ekonomi dan Latar Belakang Permasalahannya, Jakarta, 1982.
Kartanegara Satochid, Hukum Pidana I, Balai Sektor Mahasiswa, Jakarta, tanpa tahun.
Kelsen Hans, Teori Hukum Murni, Nusa Media, 2011.
Lamintang P.A.F. dan Thoe Lamintang., Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984. MinarnoNurBasuki.,PenyalahgunaanWewenangDalamPengelolaan
Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, 2010.
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2003.
Poernomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1978. Poerwadarminta W.S.J., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1976.
Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.
Sianturi S.R., Tindak Pidana di KUHP, Alumni, AHM-PTHM, Jakarta, 1983. Sibuea Hotma P., Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan, PT. Penertbit
Erlangga, Jakarta, 2010.
(sbc)
Komentar